Bisnis ikan, jangan disamakan dengan dagang mebel atau baju. Kursi berukir di rumah mewah, harganya berlipat, dibanding dengan kayu gelondongan sebelum disentuh oleh tukang ukir dari Jepara. Baju kebaya yang dikenakan Ratih Sanggarwati, memiliki nilai tambah atau added value beribu kali, setelah digarap oleh perancang mode, bila dibanding saat berupa lembaran kain di Pasar Baru.
Ikan mentah, belum tentu memberikan nilai tambah setelah diolah. Ikan segar tidak selalu akan memperoleh harga yang lebih tinggi apabila dilakukan pengolahan. Ikan hidup jenis kerapu yang dibeli mahal oleh masyarakat Shanghai, justru akan berharga rendah apabila digarami menjadi ikan asin. Sashimi bluefin tuna akan bernilai murah apabila diolah sebagai ikan kaleng.
Kebanyakan ikan memiliki hierarchi harga tertinggi berupa ikan hidup, dan masih relatif tinggi berupa ikan segar. Di bawahnya adalah ikan superbeku (deep frozen) yang jaringan ototnya mirip ikan segar. Berikutnya adalah ikan beku, ikan kaleng, ikan pindnag, ikan asin, tepung ikan, terasi dan akhirnya untuk pupuk. Jadi seringkali mengolah ikan, bukan nilai tambah yang diperoleh, namun "nilai tombok" yang didapatkan.
Lantas mengapa ada unit pengolahan, kalau ternyata mengolah memiliki nilai yang tidak terlalu menguntungkan? Ada tiga fungsi upaya pengolahan ikan. Pertama, untuk mempertahankan kualitas kesegaran ikan, dengan menghambat proses pembusukan. Ikan mati akan mengalami autolisa, mengurai otot sendiri melalui proses enzymatis dari dirinya. Bakteri yang banyak berada di isi perut, insang dan lendirnya, mulai pula melakukan operasi pembusukan. Suhu rendah dapat menghambat laju pembusukan. Ikan yang didinginkan pada suhu 7°C, masih layak dimakan dengan waktu simpan tujuh hari. Apabila suhu penyimpanan diturunkan menjadi 0°C, bahkan bisa tahan kualitasnya selama 21 sampai 30 hari. Apalagi bila jangka waktu lama, digunakanlah pembekuan -40°C.
Kedua, memberikan nilai lebih, apabila dibandingkan dengan harga produk jika terjadi pembusukan. Ikan sebagai produk yang mudah rusak (perishable food), lebih menguntungkan dipindang atau diasin, apabila dibanding dengan kondisi mutu yang mengalami pembusukan, oleh proses alaminya. Ikan yang secara fisik mengalami pembusukan, lebih memiliki nilai apabila dijadikan terasi. Ikan yang tidak terpasarkan, akan memberikan rupiah apabila diolah menjadi tepung ikan atau bahan pakan udang. Dengan perhitungan itu pula maka nelayan jaring lingkar (purse-seine) Pekalongan yang berlayar 40 hari, mengawetkan ikan yang awal ditangkap dengan garam untuk akhirnya diolah menjadi ikan asin. Pada hari minus 18 dari saat mendarat, hasil tangkapnya mulai diawetkan dengan es.
Yang ketiga, pengolahan ikan dilakukan dengan maksud untuk menyesuaikan dengan ketepatan selera konsumen atau sifat masing-masing berbagai jenis ikan. Ikan yang besar bisa difillet dan dibekukan atau dikaleng. Tidak mungkin hal itu dilakukan bagi ikan yang berukuran kurang dari 3 cm. Lemuru yang dikaleng tentu memerlukan ukuran tertentu yang seragam. Tapi untuk bakso ikan, tentu dapat diambil dari berbagai ukuran ikan, termasuk "serpihan" ikan hasil olahan.
Disamping ukuran, pertimbangan lain tentu rasa, tekstur, warna dan komposisi kimiawi. Ikan lele tentu nikmat bila dipanggang atau digoreng untuk disantap sebagai Pecel Lele. Akan tetapi ikan patin yang sama-sama "cat fish"akan lebih nikmat bila dioleh sebagai sup ikan, karena dagingnya terlalu lembut untuk digoreng.
Tuna (Thunnus thunnus) sangat nikmat untuk sashimi, tapi bila dikalengkan menjadi tidak baik karena dagingnya berubah menjadi warna gelap. Lain dengan jenis tuna Albacore (Thunnus alalunga) yang sangat bagus untuk dikaleng. Sedangkan jenis tuna lain yang dikenal sebagai Blue Marlin (Tetraptulus angelus) sangat baik untuk sosis ikan.
Pendek kata, masing-masing ikan memiliki karakteristik. Dan ikan, lain dengan beras dan gula, tidak mungkin disimpan tanpa intervensi teknologi yang tentu menambah biaya operasional, dan belum tentu memberikan nilai tambah. Oleh karenanya, bila memaksakan ikan harus diolah, alangkah naifnya. Padahal, dijual mentah sebagai sashimi harganya berlipat ganda, mengapa harus dikaleng yang notabene bernilai lebih murah dan berbiaya lebih tinggi? Namanya bisnis, tentu mencari untung.* Created by nawawi ( dari www.dkp.go.id karya so`nan hp )
0 komentar:
Posting Komentar