Dan masih dalam suasana idul fitri yang merupakan puncak setelah melakukan ibadah puasa untuk menyambut kemenangan hakiki bukan hanya isyarat ritual-an melainkan apa yang terkandung dalam hari kemenangan itu sendiri. Tentu semua tahu bahwa hari raya idul fitri merupakan momen yang luar biasa, syarat dengan pesan, namun kadang di balik itu penuh dengan sisipan nilai di antaranya simbolisme ibadah ritual yang hanya dimaknai sebagai esensi yang fitri pada fitrah diri tanpa melihat komunal masyarakat yang dimiskinkan oleh sistem.
Malah sebaliknya orang memaknai lebaran untuk berlebaran ditandai dengan banyaknya orang di hari-hari terakhir Ramadhan bersesakan di lorong-lorong pasar. Idul Fitri seolah menjadi simbol kebebasan dari pengekangan hawa nafsu selama Ramadhan. Idul Fitri menjadi ajang balas dendam!
Tak peduli mereka berpuasa atau tidak. Yang penting, harus ada kemewahan yang tersaji di ruang tamu masing-masing. Idul Fitri seolah menghalalkan seseorang untuk menjadi konsumtif dan boros. Padahal Allah jelas-jelas telah melarang kita untuk berbuat boros! "Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros". (QS. 17:26)
Bukan begitu saudaraku, selayaknya kita mampu mengambil pesan singkat dari Ramadhan menuju Idul Fitri, untuk mengerti mengapa kita melakukan semua itu. Kadang semua hanya jadi tren penampilan saja dari Idul Fitri tetapi tidak menyentuh daya kesalihan diri.
Kita buta bahwa lingkungan sosial masyarakat ini yang notabenenya sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya muslim, masih banyak mereka yang hidup serba pas-pasan di daerah bencana. Kita lupa saudara kita di Timur Yahokimo masih sengsara akibat krisis pangan. Sedang di sini, selembar limapuluh ribuan terasa tak berarti ditukar dngan setioples kue kering.
Inilah bentuk realitas moralitas masyarakat kita yang cenderung dilematis sehingga banyak yang saleh secara individu tetapi tidak dibarengi dengan kesalehan sosial. Sehingga selama Ramadhan kita seraya cenderung mendidik diri menjadi esensi egoisme spiritual tanpa melihat holistical spiritual.
Makanya dari itu perlulah kita mengerti dan memahami pola kehidupan perilaku masyarakat bangsa ini yang unik dibanding dengan bangsa-bangsa lain. Marilah kita jadikan idul fitri ini menjadi ajang penyucian diri kembali pada fitrah kita yang suci bukan dari performance saja tetapi ditekankan pada upaya penyadaran kita sebagai khalifah dan abduh yang senantiasa mampu menjadi perayaan bersama.Implementasi idul fitri dalam masyarakat harus imbang bahkan mampu meningkatkan iman, takwa sekaligus setelah pemaafan itu dimulai dan menjadi hiasi nilai yang kita lakukan sehari-hari. Idul fitri bukan sekedar ritual agama, budaya tetapi lebih dari itu yang mana mampu menjadi proses keterkaitan kita dengan tali silaturahmi bersama menuju keseimbangan diri kita. Wallahua'lam bishawab.
sumber : http://www.dsim.or.id/artikel-140-dari-ramadhan-ke-hakikat-fitri.html
0 komentar:
Posting Komentar