Manusia diciptakan dengan memiliki kemampuan untuk berkembang dan berubah. Perubahan itu hendaknya mengikuti apa yang telah digariskan oleh Allah dalam Al-Quran. Ada fase atau jenjang yang harus dilalui oleh seorang muslim. Islam tidak menuntut banyak perubahan dalam diri seseorang, melainkan perubahan hanyalah ada dan sejalan dengan taufiq (petunjuk) Allah. Ketika taufiq itu masuk dalam diri seseorang, maka ada banyak harapan akan terjadi perubahan-perubahan. Kadang-kadang bisa mengejutkan nalar manusia, karena taufiq itu sesuatu yang irrasional (tidak masuk akal) dan transendental (hanya urusan Allah Ta'ala).
Manusia sering kali terperangkap dengan kemauan nafsunya, angan-angan yang tidak berujung, dan cinta terhadap dunia. Sehingga dalam perjalanan hidupnya manusia sering kali mengabaikan sisi yang terpenting, yaitu adab dalam beribadah terhadap Sang Khalik ( Sang Pencipta). Sedikit sekali manusia yang mengerti dan memperhatikan tatakrama terhadap Allah Sang Khalik. Berkata Al-Imam Ibnu Athoillah As-Sakandary,
"Kegigihanmu untuk mencapai sesuatu yang telah dijamin pasti oleh Allah bagimu, dan keteledoran terhadap kewajiban yang diamanatkan kepadamu menunjukkan butanya mata hatimu."
Kata ijtihad disini mengisyaratkan bahwa mencari rizqi dengan cara berlebihan, bertentangan dengan tatakrama seorang hamba dengan Allah Sang Khaliq. Sedangkan kebalikannya adalah orang yang menerima dengan ridla terhadap apa yang diberikan oleh Allah, dengan hanya takut terhadap apa-apa yang dilarang oleh Allah dan menjaga tatakrama selama bekerja. Secara gamblang Imam Ibnu Athoillah menggambarkan bahwa manusia itu boleh-boleh saja untuk bekerja untuk mencari dunia. Namun di sisi lain manusia juga harus menjaga amaliyah akhirat mereka. Fokus pembahasannya adalah manusia itu harus berusaha untuk menggabungkan dua kutub yang saling berlawanan itu. Tidak boleh salah satu diantaranya terbengkalai begitu saja. Allah memang telah menjamin rizqi untuk semua makhluknya, seperti yang difirmankan pada surat Al-Ankabut:
"Dan berapa banyak binatang yang tidak membawa rezkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Ada unsur takafful (upaya menjamin) antara Sang Khaliq dengan hamba. Hal ini merupakan sebuah manifestasi (perwujudan) sifat Rahman Allah kepada makhlukNya.
Pada makna yang lain Allah tidak membiarkan manusia berpaku tangan tanpa ada usahan, sebagaimana firman Allah yang artinya, “Tidaklah bagi manusia kecuali apa yang dia usahakan. Pada kedua ayat di atas menjelaskan bahwa harus adanya kesinambungan antara usaha dan tawakal atas pemberian Allah. Di lain itu bukanlah sebuah usaha manusia sebagai tujuan inti dalam kehidupan di dunia ini, sebagaimana banyak terjadi di kalangan manusia. Mereka mengaku dalam meraih rizqi hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tetapi kenyataannya apa yang mereka lakukan sangat bertentangan dengan apa diucapkan. Siang malam dihabiskan hanya untuk sesuap nasi tanpa memirkan apakah sudah shalat apa belum.
Di sini perlu digarisbawahi adanya ilmu tasawuf sangar diperlukan dalam mengarungi belantara kehidupan dunia, dengan ilmu tersebut manusia dapat menyaring dan mengontrol segala tindak tanduknya setiap detiknya. Karena ilmu tasawuf itu laksana filter yang dapat menetralisir segala hal-hal yang dianggap bertentangan dengan kaedah-kaedah agama.
Untuk menggapai ilmu tasawuf tidaklah mudah,banyak salah penafsiran di tengah-tengah para pemula bagi orang mempelajari ilmu tasawuf. Mereka berpendapat bahwa ahli tasawuf hanya dikekilingi sesuatu yang kumuh, kotor dan identik dengan kemiskinan. Pendapat tersebut suatu pemikiran yang dihasilkan dari orang-orang yang dangkal akan ilmunya, kurangnya memahami makna yang terkandung dalam ilmu tasawuf. Kita lihat saja kepada orang yang menjadi contoh dan tauladan ahli tasawuf, tiada lain junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Beliau berkepribadian bersih dan rapi. Tidak pernah kelihatan kotor dan kumuh pada diri beliau. Bahkan kalau beliau akan bertemu dengan sahabat, beliau bersisir dan meminyaki rambutnya. Ketika ditanyakan hal tersebut, beliau menjawab, "Aku ingin bertemu dengan sahabatku dan aku ingin mereka senang ketika melihatku". Ini sebuah contoh yang nyata bukanlah tasawauf identik dengan hal-hal kumuh dan kotor.
Dalam mengarungi kehidupan dunia manusia berlomba-lomba mengumpulkan harta yang sebanyak banyaknya, dengan menghalalkan berbagai macam cara mereka tempuh yang penting harta ada di genggamannya. Memang manusia sesuai yang mereka usahakan sebagaiamana pada ayat di atas. Tetapi manusia harus berpikir sedalam mungkin bahwa Allah menciptakan mereka semua itu hanya untuk menyembah dan beribadah dimuka bumi. Inilah pentingnya ilmu tasawuf bagi manusia. Seperti di atas ilmu tasawuf adalah sebuah filter. Boleh saja manusia mencari harta tetapi harta tesebut tidak masuk dalam hatinya. Maksudnya bukanlah harta sebagai tujuan utama manusia diciptakan.Dan diantara cara untuk mempelajai ilmu tasawuf diperlukan kebersihan hati, dan kebesihan hati dapat dihasilkan dengan mengosongkan dari keinginan duniawi.sebab hati ibarat mata panca indera kita, jika mata tersebut sehat dan tidak buta maka seorang manusia dapat membedakan mana yang baik dan jelek, begitu pula hati kita jika kotorl lebih-lebih buta maka layaknya hewan bahkan lebih rendah. Bagaimana tidak, seorang yang buta hatinya berani membunuh hanya masalah uang seribu, mengkorupsi triliyunan rupiah untuk kebutuhan perut nya sendiri tidak melihat masih banyak di sana sini orang-orang yang hanya untuk sesuap nasi saja masih kesulitan. Hal itu tidak dirasakan bagi orang gelap dan buta hatinya.
Dan inti dari itu semua manusia sebagai manusia ciptaan Allah harus melaksanakan apa yang Allah perintahkan dan menjahui segala yang dilarang,disamping tidak melupakan manusia sebagai makhluk social untuk berusaha diatas bumi ini dengan berpegangan dengan tawakkal kepada Allah yang diriealisasikan dalam ilmu tasawuf.
Sebelum berakhir ada sebuah ayat yang dapat sebagai pedoman untuk mengarungi hamparan dunia yang luas dengan mudah dan diridloi Allah :
“Dan perintahkanlah keluargamu untuk sholat dan bersabarlah atas segala yang kamu hadapi, Allah tidak memintamu rizqi, melainkan Allahlah yang memberimu rizqi dan ini semua adalah konsekuensi orang yang bertakwa.”
Ayat ini sangat dalam maknanya,jika orang ingin mendapat rizqi yang lancar, maka jalannya adalah bertaqwa. Bertaqwa mempunyai komponen-komponen penyusun, antara lain iman, ilmu, dan amal. Tiga unsur ini saling terkait satu sama lain. Ketika orang berusaha mencari nafkah (yang sifatnya urgen) akan tetapi harus disadari bahwa nafkah adalah sebagian urusan Allah. Jadi sewajarnyalah mencari rizqi, jangan sampai ada istilah jungkir balik dalam mencari rizqi karena sebuah ambisi duniawi saja.
Kesadaran kita akan usaha mencari nafkah dengan landasan syareat itu sebagian dari ilmu yang telah kita ketahui dan kita amalkan. Jika ini sudah menjadi bagian dari gaya hidup kita, maka rizqi itu akan datang pada kita. Wallahua’lam bishowab.
SUMBER Gambar (adekunya.wordpress.com), isi (http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net )
0 komentar:
Posting Komentar